Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RA Kartini, Santri KH Sholeh Darat yang Menginspirasi Perjuangan Perempuan


JENDELA PELAJAR
- Nama Raden Adjeng Kartini mungkin sudah akrab di telinga kita sejak duduk di bangku sekolah. Ia dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan yang suaranya menggetarkan kesadaran masyarakat di masa kolonial. Namun, di balik gelarnya sebagai bangsawan Jawa, ternyata Kartini juga seorang santri. Ya, santri dari ulama besar tanah Jawa, KH Sholeh Darat dari Semarang.

Selama ini, banyak yang hanya mengenal Kartini sebagai putri Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dan cucu dari garis keturunan keraton. Tetapi jarang yang tahu, bahwa pemikiran-pemikiran revolusioner Kartini tumbuh karena pergulatannya dengan ilmu agama, ilmu yang ia pelajari langsung dari seorang ulama besar yang disegani di zamannya.

Kegelisahan Seorang Kartini
Kartini lahir di tengah budaya yang sangat kental dengan patriarki. Ia tumbuh dalam lingkungan yang menempatkan perempuan sebatas di dapur, kasur, dan sumur. Tapi Kartini tidak tinggal diam. Ia bertanya, menggugat, bahkan mengkritik budaya itu dengan sangat halus namun tajam. Baginya, perempuan juga punya hak untuk belajar, berpikir, dan berkontribusi bagi masyarakat.

Salah satu kegelisahan terbesar Kartini adalah tentang agamanya sendiri, Islam. Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, ia dengan jujur mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mencintai Islam secara utuh karena tidak memahami ajarannya.

Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?” tulis Kartini pada 6 November 1899.

Bahkan, Kartini mengkritik praktik mengaji yang hanya menekankan hafalan tanpa pemahaman makna. Ia mengibaratkan, seperti disuruh menghafal bahasa Inggris tanpa tahu artinya.

Pertemuannya dengan KH Sholeh Darat
Takdir mempertemukan Kartini dengan KH Sholeh Darat dalam sebuah pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Saat itu, KH Sholeh Darat sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. Kartini tertegun. Ia baru pertama kali mendengar makna ayat-ayat yang selama ini hanya dihafalnya saja.

Setelah pengajian, Kartini meminta dengan sangat kepada pamannya untuk bisa berbicara langsung dengan sang kiai. Dalam pertemuan itu, ia mengajukan pertanyaan yang sangat mendalam:

“Kiai, bagaimana hukumnya apabila orang berilmu menyembunyikan ilmunya?”

Pertanyaan itu membuat KH Sholeh Darat tersadar. Selama ini, memang para ulama enggan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal karena tekanan penjajah Belanda. Sebab, jika rakyat memahami isi Al-Qur’an, maka mereka akan sadar, bangkit, dan sulit dijajah.

Namun, karena dorongan Kartini, KH Sholeh Darat kemudian menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Kitab itu diberi nama Faidhur-Rohman, dan menjadi kitab tafsir pertama dalam bahasa Jawa. Sebuah warisan besar yang lahir dari dialog tulus antara seorang santri dan gurunya.

Hadiah Pernikahan Penuh Makna
Ketika Kartini menikah dengan Bupati Rembang, RM Joyodiningrat, KH Sholeh Darat memberikan hadiah spesial: Kitab Faidhur-Rohman. Kartini sangat bersyukur. Ia merasa baru kali itu benar-benar memahami isi dari Surat Al-Fatihah.

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Tapi kini ia terang-benderang,” ucap Kartini, penuh haru.

Dari sinilah kita bisa melihat, bahwa ungkapan “Habis Gelap Terbitlah Terang” bukan sekadar metafora belaka. Ia lahir dari pencerahan spiritual dan intelektual seorang Kartini setelah ngaji kepada Mbah Sholeh Darat. Bahkan, ungkapan itu merujuk pada ayat dalam QS. Al-Baqarah: 257: “Allah membimbing orang-orang beriman dari gelap menuju cahaya.”

Kartini, Santri yang Melawan Kegelapan
Kartini bukan sekadar tokoh emansipasi perempuan. Ia adalah santri yang haus akan ilmu dan kebenaran. Ia adalah perempuan yang membuka jendela peradaban dengan keberaniannya mempertanyakan ketidakadilan, baik sosial, budaya, maupun spiritual.

Perjalanan spiritualnya bersama KH Sholeh Darat menjadi bukti bahwa ilmu agama yang benar dan membebaskan bisa menjadi cahaya dalam kegelapan. Kartini tidak hanya menginspirasi perempuan untuk berani bermimpi, tapi juga mengajarkan bahwa perjuangan itu harus didasari oleh ilmu.

---

Hari Kartini bukan hanya tentang mengenakan kebaya dan batik. Tapi tentang menyalakan obor ilmu dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, seperti yang dilakukan Kartini, santri Kiai Sholeh Darat, yang dari kegelisahannya lahir sebuah cahaya perubahan.