Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Rebo Wekasan Penuh Kesialan? Mengungkap Fakta dan Mitos di Balik Tradisi Jawa


Sumber gambar ilustrasi by Pinterest

jendelapelajar.or.id - Rebo Wekasan atau dikenal sebagai Rabu terakhir di bulan Safar, telah menjadi bagian penting dari tradisi Islam di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Dihormati sebagai hari yang penuh makna dan misteri, Rebo Wekasan dipandang oleh banyak orang sebagai hari di mana berbagai macam bala’ atau bencana diturunkan ke bumi. Namun, benarkah Rebo Wekasan ini benar-benar membawa kesialan, ataukah hanya mitos yang telah diwariskan dari generasi ke generasi?

Dalam tradisi masyarakat Jawa, Rebo Wekasan dianggap sebagai hari yang sakral dan waktu yang paling keramat, berakar dari keyakinan bahwa pada hari ini, 320 ribu bala’ (bencana) diturunkan ke bumi. Keyakinan ini berasal dari ajaran Syekh Ad-Dairobi, seorang ulama tasawuf yang telah mencapai level kasyaf, yaitu kemampuan spiritual untuk melihat hal-hal yang gaib.

Selain Syekh Ad-Dairobi, pemahaman ini juga disebarkan oleh ulama-ulama Jawa seperti KH Abdul Hamid Kudus, yang menulis dalam kitabnya Kanzu As-Surur tentang keistimewaan dan bahaya yang terkait dengan Rebo Wekasan. Oleh karena itu, banyak orang berusaha melindungi diri mereka dari bala’ pada hari tersebut dengan berbagai cara, termasuk melakukan shalat khusus dan amalan tertentu.

Namun, tidak semua ulama setuju dengan pandangan ini. KH Miftakhul Akhyar, Rais Aam PBNU, menegaskan bahwa kesialan atau nahas yang dimaksud dalam Rebo Wekasan hanyalah keyakinan yang berlaku bagi mereka yang mempercayainya. Dalam pandangannya, setiap waktu, hari, bulan, atau tahun memiliki manfaat dan mafsadahnya sendiri. “Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa menjadi nahas bagi orang lain,” ujar beliau.

Seiring berjalannya waktu, banyak ulama yang mulai mengkritisi keyakinan ini. KH Abdul Kholik Mustaqim dari Tambakberas, Jombang, salah satunya. Beliau menjelaskan bahwa hadits yang sering digunakan untuk mendukung pandangan tentang kesialan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar merupakan hadits dhaif, yang tidak dapat dijadikan pegangan kuat. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar keyakinan ini tidak dijadikan dasar dalam beramal.

Bahkan, menurut KH Abdul Kholik, dalam Syariat Islam tidak ada anjuran khusus untuk melaksanakan amalan tertentu pada hari Rebo Wekasan. Beliau menambahkan bahwa anjuran-anjuran yang ada selama ini lebih banyak berasal dari ulama ahli tasawuf dan belum diklasifikasikan sebagai hujjah secara syar'i.

Meskipun pandangan tentang Rebo Wekasan sebagai hari penuh kesialan masih ada, semakin banyak ulama yang mengarahkan umat untuk kembali kepada prinsip dasar Islam. Tidak ada shalat khusus yang dianjurkan pada hari Rebo Wekasan. Namun, jika seseorang ingin melaksanakan shalat sunnah dengan niat untuk menolak bala’, seperti shalat hajat atau shalat sunnah mutlaqah, hal itu tetap diperbolehkan. Penting untuk diingat bahwa niat dalam beribadah adalah yang paling utama.

Dalam konteks yang lebih luas, keyakinan tentang kesialan Rebo Wekasan bisa dilihat sebagai bagian dari tradisi yang kaya, tetapi tidak harus diikuti secara mutlak. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk senantiasa berserah diri kepada Allah dalam setiap keadaan, baik dalam kondisi yang diyakini membawa kesialan maupun keberuntungan. Dengan demikian, alih-alih mengkhawatirkan bala’, kita sebaiknya memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk berbuat baik dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Rebo Wekasan memang memiliki tempat tersendiri dalam tradisi dan budaya Islam di Jawa. Namun, penting bagi kita untuk menyikapi tradisi ini dengan bijak dan tidak terjebak dalam keyakinan yang tidak didukung oleh dalil yang kuat. Pada akhirnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik atau buruk, adalah atas izin Allah, dan kita sebagai hamba-Nya hanya bisa berusaha dan berdoa agar senantiasa diberi perlindungan dan petunjuk-Nya.

Oleh: Tim Redaksi